Sabtu, 07 Februari 2009

Nur Hidayat Sardini: Kami Hanya ‘Hakim Garis’

Ketua Bawaslu
[5/2/09]

Bawaslu berharap mendapat kewenangan eksekusi tindaklanjuti pelanggaran administrasi terkait penyelenggaraan pemilu.

Kemeriahan Pemilu 2009 tinggal hitungan hari. Komisi Pemilihan Umum (KPU), di pusat ataupun daerah, selaku penyelenggara tentunya menjadi pihak yang paling sibuk mempersiapkan ajang empat tahunan ini. Di sisi lain, partai politik beserta para kadernya tidak kalah sibuknya “mendandani” diri agar siap bertarung dengan partai politik dan kader lainnya.



Untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilu berlangsung dengan lancar dan sesuai aturan, maka diperlukan sebuah lembaga pengawas pemilu. Sejarah pemilu Indonesia mencatat lembaga pengawas pemilu pertama kali dikenal pada Pemilu 1982. Lembaga ini dengan latarbelakang maraknya protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971.



Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang terus berubah, pengawas pemilu tetap diaktifkan sampai Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Eksistensi Panwaslu kemudian dipertegas oleh UU No. 12 Tahun 2003 yang juga mendasari terbentuknya Panwaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.



Dalam perkembangannya, Panwaslu bertransformasi kembali menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2007, Pasal 70. Jumlah anggota Bawaslu sebanyak lima orang berasal dari kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.



Bawaslu periode 2008-2013 dilantik dan diangkat sumpah pada 9 April 2008 oleh Hakim Agung Mansur Kartayasa bertempat di kantor KPU. Selaku ketua terpilih Nur Hidayat Sardini yang membawahi empat anggota, antara lain SF Agustiani Tio Fridelina Sitorus, Bambang Eka Cahya Widodo, dan Wirdyaningsih.



Perbedaan Bawaslu dengan lembaga pengawas sebelumnya adalah status lembaga yang permanen sebagaimana ditegaskan Pasal 70 ayat (2) UU Penyelenggara Pemilu. Sayang, status baru tidak serta-merta menjadikan “nasib” Bawaslu menjadi lebih baik dari pendahulunya. Tidak lama setelah pelantikan, Bawaslu sempat nomaden alias berpindah-pindah. Awalnya menumpang di kantor KPU, lalu pindah ke Gedung Joeang 45.



“Nah, bahkan saya dan kawan-bahkan pernah hutang kepada travel agency, sampai Rp25 juta, karena tidak ada sarana dan prasarana. Jaminannya ya ketua ini,” tutur Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini, ketika disambangi hukumonline, Kamis lalu (29/1).



Nama Lengkap : NUR HIDAYAT SARDINI, S.Sos, M.Si
Tempat/Tanggal Lahir : Pekalongan / 10 Okt 1969
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Jabatan : Ketua Bawaslu
Pendidikan terakhir : S-2 Imu Politik, UI, Jakarta
Riwayat Pekerjaan : - Peneliti Pusat Studi Eropa UNDIP
- Dosen FISIP, Undip

Bertempat di kantor barunya -bekas kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di bilangan Thamrin-, Hidayat tidak hanya bercerita kisah miris di awal kiprah Bawaslu, tetapi juga berbagai tantangan, hambatan, serta strategi ke depan yang akan dihadapi Bawaslu. Selengkapnya, berikut petikan wawancara hukumonline dengan pria kelahiran Pekalongan 10 Oktober 1969 ini:



Berbeda dengan pengawas pemilu sebelumnya, Bawaslu tidak lagi bersifat adhoc (temporer), apa kelebihan dan kekurangan dari konsep ini?

Ya permanen, dikonotasikan setara dengan Bapilu, karena kami pun punya wewenang untuk mengawasi penyelenggara pemilu, paling kurang Pasal 74 UU No. 22 Tahun 2007, kami memberikan rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU dan sekretariat KPU dari pusat sampai yang ke bawah.



Dan memang secara faktual kami pernah merekomendasi pembentukan adanya Dewan Kehormatan (DK). Kemudian dari sidang DK itu akhirnya, beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota KPU di daerah, misalnya empat anggota KPU Sumatera Selatan diberhentikan, dua anggota KPU di Papua juga diberhentikan. Lalu hal yang sama dalam kasus Desi Asmara (Anggota Komisi III DPR) di Sumatera Barat, dan juga di Sulawesi Utara itu memang gagal. Tetapi paling kurang itulah sejumlah bukti yang memperlihatkan bahwa kami pun punya kewenangan untuk merekomnedasikan dibentuknya DK, dan dari DK ini kemudian memberhentikan sejumlah nama anggota KPU yang melanggar.



Kami permanen, tapi di tingkat Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas pemilu lapangan di setiap desa, pengawas pemilu luar negeri itu memang bersifat adhoc. Jadi, mereka dibentuk selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahapan pertama dimulai, tetapi memang kemarin pembentukan panwaslu di daerah agak terlambat, kami pun sebenarnya terlambat dibentuk.



Lalu, apa kelebihan dari status permanen itu?

Ya, jelas kami bisa mengawal persoalan kasus-kasus yang tertunda. Pengalaman pada Pemilu 2004, misalnya dana kampanye ternyata baru terungkap belakangan, tapi karena panwaslu-nya waktu itu sudah dibubarkan, lalu muncul pertanyaan siapa yang menindaklanjuti persoalan ini, akhirnya tidak ada. Contoh lain pemalsuan dokumen ijasah, yaitu tindak pidana yang terjadi di daerah-daerah, ketika seluruh panwas bubar, tidak ada yang menangani lagi, kemudian kasus-kasus yang tersisa juga begitu. Karena itu, ini suatu kelebihan.



Kelebihan berikutnya tentu KPU pun akan merasakan “greget” pengawasan. Karena dulu adalah panwaslu dibentuk oleh KPU. Nah, sekarang kan dalam rekrutmen relatif sama (dengan KPU, red.), melalui keputusan presiden juga, melalui seleksi rekrutmen DPR juga. Akhirnya pada posisi tertentu juga sama, meski dari sejumlah kewenangan jauh lebih besar KPU. Yang sama antara pengawas pemilu yang lama dengan yang baru adalah soal kami tidak memiliki hak eksekusi, kami tidak memiliki hak eksekutorial, padahal itu penting dalam kasus pelanggaran penanganan adminsitrasi pemilu. Menurut UU 10 Tahun 2008, selambat-lambatnya tujuh hari KPU di semua tingkatan menyelesaikan pelanggaran adminsitrasi pemilu yang diteruskan oleh panwaslu.



Dalam kaitan dengan tindak pidana pemilu memang eksekutornya adalah jaksa, proses peradilan. Jadi, kami kemudian menindaklanjuti kepada penyidik, penyidik kepada jaksa, jaksa kepada peradilan nanti, yang memeriksa dan memutuskan oleh pihak peradilan.



Kemudian, kami ada pengawas pemilu lapangan di setiap desa, kalau dulu tidak ada. Di 2009 ini juga ada pengawas pemilu luar negeri. Kalau dulu kan tidak ada. Iya, saya mantan ketua panwaslu Jawa Tengah, jadi tahu di lapangan persoalan seperti ini.



Apakah status permanen juga mengandung kelemahan?

Tentu, karena jumlah anggotanya sedikit. Kalau dulu itu di tingkat pusat tujuh atau sembilan anggota, di tingkat provinsi untuk penduduk di bawah 15 juta itu sebanyak lima orang, tetapi lebih dari 15 juta itu tujuh orang. Dulu, ada unsur kepolisian dan kejaksaan tetapi sekarang kan tidak ada. Ada kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, sekarang kami mandiri dalam pengertian berdiri secara fis a fis dengan kekuatan penyidikan penuntutan, serta peradilan dalam kaitan dengan pelanggaran tindak pidana pemilu. Lalu, dalam kaitan lain jelas kami harus bisa membuktikan setiap kasus yang kami majukan, dengan bukti permulaan di awal saja, UU menyatakan seperti itu. Nah, sekarang panwaslu provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, jumlahnya cuma tiga masing-masing anggota. Tidak berbasis pada unsur, kalau dulu ada unsur kejaksaan, pers lalu perguruan tinggi, sekarang kan mereka yang dikonotasikan sebagai kalangan profesional pegawasan di UU No. 22 Tahun 2007 seperti itu.



Bawaslu bertugas mengawasi tahapan pemilu dari ‘hulu’ hingga ‘hilir’, pada tahapan apa yang paling rentan terjadi pelanggaran?

Hampir semua tahapan itu ada titik-titik rawan. Kami, dalam melakukan pengawasan juga fokus ke sana. Pengawasan itu lalu kemudian kami cek dan pelajari dari sejumlah hal-hal yang bisa menimbulkan potensi pelanggaraan. Pada masa kampanye misalnya, jelas sekali kampanye di luar jadwal waktu, politik uang, persoalan pengurusan dana kampanye, lalu terkait dengan rekening dana kampanye. Dalam pemungutan penghitungan suara misalnya, manipulasi surat suara, manipualasi itu bisa ditinggikan angkanya bisa juga dikurangi. Lalu, pada masa tenang, Lembaga survei, jajak pendapat, quick count tidak boleh dipublikasikan pada masa tenang, karena itu jelas sekali ketentuan pidananya.



Kendala apa yang akan dihadapi Bawaslu?

Kami membayangkan kalau kami dibentuk sesuai dengan perintah UU, saya yakin performa pengawasan akan jauh lebih baik. Saya bilang tadi bahwa selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahapan pemilu pertama dimulai, pengawas pemilu sudah terbentuk. Padahal, kami sendiri di Bawaslu sebagai institusi puncak pengawasan yang juga membentuk bawaslu di bawahnya, baru dilantik 9 April 2008. Padahal, tahapan pertama pemilu 5 April, jadi sebenarnya terlambat. Nah, ketika kami dilantik semua prasarana nol sama sekali.



Kami dalam 2-3 bulan pernah berkantor di KPU, dua ruang anggota KPU yang lama itu kami dipinjami, sarana dan prasarana seperti mobil juga kami dipinjami. Bahkan, karena sudah tidak memadai kantor KPU itu, kami pindah ke Gedung Joeang, disitu kami dapat 4-5 bulan, dan itu baru terbentuk kepala kesekretariatan. Bulan Agustus, baru kami bisa menata kelembagaan. Nah, pada saat bersamaan kami diperintahkan UU untuk membentuk panwaslu tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.



Nah, bahkan saya dan kawan-bahkan pernah berhutang kepada travel agency, sampai 25 juta, karena tidak ada sarana dan prasarana. Jaminannya ya ketua ini. Tetapi itu, masa-masa sulit sudah kami lampaui, dan syukur Alhamdulilah kami mendapatkan fasilitas dari sekretariat negara, akan gedung ini (gedung PBB). Yang lumayan representatiflah, sehingga bisa memicu kami dengan adanya gedung ini koordinasi semakin baik. Secara kelembagaan kami sudah terbentuk semua, sesuatu yang tidak kami perkirakan, bahkan anggaran DIPA kami sudah membagi untuk 33 provinsi, di seluruh indonesia yang kami serahkan secara resmi pada 22 Januari kemarin.



Itu salah satu hal yang kami lampaui, meski kami sadar bahwa kami banyak kekurangan. Kekurangan paling utama adalah bahwa kami diminta untuk mengawasi KPU juga. Kami lihat bahwa format penyelenggara KPU usianya sudah 10 tahun setelah reformasi, sedangkan kami baru berusia tujuh bulan. Kami harus mengimbangi usia KPU yang sudah sedemikian mapan. Nah, ini persoalan yang harus kami kejar. Begitu kami baru dilantik, kami segera meletakkan pondasi pengawasan. Pertama-pertama regulasi pengawasan harus kami susun dulu, kemudian peraturan Bawaslu tentang pengawasan, tentang penerimaan, dan tindak lanjut pelaporan. Dua hal yang tidak bisa ditolak karena apapun, ketika kami misalnya belum punya sarana prasarana waktu itu, lalu ada orang melapor ya harus segera ditindaklanjuti. Karena itu perintah UU apapun kondisinya.



Apar rencana Bawaslu ke depan?

Tentu kami harus tetapkan rencana strategis. Alhamdulillah, sudah kami tetapkan sehingga kami terpandu rencana strategis yang memuat tentang visi misi program kami, sehingga arahnya lebih jelas. Ya, syukur Alhamdulillah dalam wakitu 4-5 bulan efektif kami bisa selesaikan semuanya, termasuk pembentukan kelembagaan. Dalam pembentukan kelembagaan memang ada yang tersisa, yaitu Aceh. Ada perbedaan persepsi payung hukum, DPRD Aceh bersikukuh untuk menggunakan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sementara kami bersama KPU tetap ingin menggunakan UU No. 22 Tahun 2007.



Belajar dari pemilu sebelumnya, aspek koordinasi antara lembaga pengawas dengan instansi terkait seperti KPU, Polisi, dan lain-lain selalu menjadi isu penting. Bagaimana caranya agar koordinasi tersebut berjalan dengan baik?

Jauh lebih dari itu, kami sudah membentuk di sela-sela kami membangun kelembagaan ini, kami sudah berhasil menuntaskan pada awal-awal berdirinya Bawaslu ini. Pertama-pertama adalah Bawaslu bersama Kapolri, Kejaksaan Agung, membentuk forum panel, yang namanya adalah Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakumdu), dan pola penanganan perkara tindak pidana pemilu, pada tanggal 27 Juni 2008 lalu.



Itu adalah forum menyiasati limitasi waktu di dalam UU yang proses penanganan perkaranya itu singkat, misalnya tiga hari sejak dilaporkan. Lalu kami punya tiga hari berikutnya untuk memproses di tubuh pengawas pemilu, bila diperlukan keterangan tambahan, kami bisa tambah dua hari lagi sehingga totalnya lima hari. Kemudian di penyidik ada 14 dan seterusnya, kalau tidak dibentuk Sentra Gakumdu semacam ini agak sulit, karena tentu kami punya pandangan ada limitasi waktu ini tentu biaya perkara tidak bolak-balik. Nah, itulah kemudian yang kami berhasil kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan.



Lalu pada bagian yang lain, kami juga melakukan kerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia, terkait dengan penanganan pelanggaran atas pengawasan terhadap media massa. Pengawasan ini ada tiga, penyiaran, pemberitaan dan iklan kampanye. Lalu untuk pengawasan dana kampanye kami bekerjasama dengan PPATK. Nah, dalam rangka memantau pelaksanaan pemilu kami juga sudah firm dengan 11 pemantau ternama di indonesia. Misal cetro, JPPR, IPC, KIP dan Prodem, kebetulan saya sekretaris Prodem di tingkat pusat. Lalu kami juga kerjasama dengan Forum Rektor Indoenesia.



Penandatanganan MoU apakah cukup menjamin?

Kami ini punya kewenangan sangat terbatas. Pertama, kami tidak punya hak eksekusi, hak eksekutorial itu tidak ada dikami, apakah ini konyol atau tidak, performa lembaga pengawas itu kinerjanya amat ditentukan oleh lembaga lain. Misalkan kami dikonotasikan sebagai wasit, posisi wasit itu sebenarnya tidak di kami, yang dalam permainan bola, wasitnya adalah KPU, atau penyidik. Ketika misalnya wasitnya tidak melihat hakim garis yang sudah angkat bendera karena ada pelanggaran, tapi mereka tidak melihat atau tidak mau lihat, atau tidak tahu atau tidak mau tahu, kami sudah tidak bisa apa-apa. Karena merekalah yang punya kewenangan untuk itu.



Bawaslu diibaratkan hakim garis. Nah sebenarnya ketika kami menindaklanjuti adanya laporan, sebenanya di situlah tugas kami sudah selesai. Meski kami punya kewajiban untuk memantau perkembangan kasus yang sedang kami tindak lanjuti itu tadi. Nah, kalau kemudian KPU-nya tidak meneruskan penanganan adminsitrasi pemilu, kami tidak bisa apa-apa. Karena itu kewenangan KPU, misalnya, kami bilang sudah cukup unsur, segala macam tapi penyidiknya tidak. Kami tidak bisa apa-apa, tergantung komitmen mereka. Bagaimana kok seperti itu, itu undang-undang. Tetapi anda lihat bahwa produk-produk kebijakan kami kan anda lihat sendiri sebagian. Kasus-kasus yang di lapangan itu sudah banyak yang diputus di pengadilan. Misal kasus Situbondo, di Bali itu ada tiga, di Gorontalo ada dua, di Jateng sedang ada proses antara kejaksaan dan pengadilan, itu juga berlangsung. Dan itulah kenapa kemudian kami sedikit banyak pada posisi yang penindaklanjut laporan saja.



Ke depan satu hal, berilah kewenangan kami tidak sekedar kewenangan terbatas seperti sekarang, misalnya hak eksekusi untuk bagian-bagian tertentu. Untuk pidana pemilu kan tidak bisa, karena itu sudah KUHAP. Tapi semacam pembersihan alat peraga, lalu dalam kaitan dengan apakah dalam rekomendasi kami. Langkah kami bisa menghentikan kasus pencoretan terhadap caleg yang bermasalah, itu sebenarnya masih pada wilayah yang negotiable, yang bisa perbaiki ke depan. Tetapi, tentu ini semua tergantung kepada penyusun undang-undang. Nah, kami ini kan tugasnya hanya mengawasi atas peraturan perundang-undangan terhadap pemilu.



Apakah UU-nya harus di revisi?

Saya kira kami tidak punya keinginan untuk merevisi undang-undang, tidak cukup waktu, mendingan dipikirkan bagaimana dengan segala kewenangan ini kami bisa laksanakan secara optimal. Keinginan ini untuk Bawaslu yang akan datang.



Bagi Bawaslu, apa success indicator sebuah lembaga pengawas pemilu? Apakah banyaknya kasus yang berakhir menjadi hukuman atau cukup mendapat respon dari instansi terkait?

Ada dua, pertama-pertama adalah indikator kualitatif. Kedua indikator kuantitatif. Indikator kualitatif adalah jika hasil pekerjaan pengawasan penilaian publik memuaskan, jadi ada perasaan-perasaan umum yang menyatakan okelah panwas pemilu sudah bekerja dengan baik. Melakukan penanganan pelanggaran-pelanggaran sudah pada arah yang tepat. Itu kepuasan publik, anda tahu kepuasan publik itu sangat nisbi (relatif), karena itu memang harus ada langkah kedua. Indikator kedua adalah kuantitatif, indikator ini diukur sejauh mana pengawas itu bisa menemukan dugaan pelanggaran dan juga bisa menindaklanjuti temuan tadi di samping juga ada yang namanya laporan, jadi laporan adalah hasil atau produk pengawasan hasil kami.



Di kami pengawasan ada tiga, pengawasan aktif, hasilnya adalah temuan yang kemudian bisa masuk jenjang berikutnya dalam penanganan pelanggaran. Lalu, ukuran paling penting adalah sejauh mana pengawas pemilu di semua tingkatan bisa menemukan pelanggaran. Atau menerima laporan dan menindaklanjutinya kepada instansi yang berwenang. Semakin angkanya itu bagus, semakin akan memperjelas, posisi pengawas karena tidak mungkin kami hanya mengandalkan juga dari pengawasan pasif kami. Ada memang penjelasan kalau jauh lebih panjang soal indikator ini, tetapi ketika kami bisa secara cepat dan tepat menemukan temuan atau menerima laporan, dan kemudian menindaklanjutinya dengan baik, maka di situlah kami katakan efektifitas pengawasan, jadi indikator kualitatif penting.



Namun, indikator kuantitatif juga kami selalu dorong di pengawas semua tingkatan. Karena orang tahu bahwa suatu kala ketika orang menilai, bahwa pemilu itu aman menurut kami itu tidak cukup. Pemilu itu harus bisa pula dalam bacaan pengawasan sejauh mana dia bisa menindaklanjuti temuan atau laporan tadi-tadi kepada instansi yang berwenang. Nah, kami sebenarnya di luar itu, melakukan pengawasan secara partisipatoris. Artinya bahwa kami menempatkan stake holder sebagai bagian dari pengawasan paralel. Sebagai contoh untuk mengawasi terhadap pelibatan anak-anak dalam kampanye.



Kami sedang kerjasama dengan Komnas Perlindingan Anak. Untuk pengawasan laporan dana kampanye secara spesifik kami bekerja sama dengan ICW, misalnya kita sudah merancang pelatihan kepada panwas daerah tentang isu-isu spesifik. Seperti dana kampanye, penyalahgunaan jabatan kewenangan, dan black and negative campaign, juga pengawasan logistik.



Lembaga pengawas seringkali rentan terhadap segala macam bentuk godaan baik dalam bentuk materi maupun non materi (suap, ancaman, dan lain-lain). Bagaimana Bawaslu memastikan kinerja anggotanya tetap independen, transparan, dan akuntabel?

Kami selalu himbau kepada aparat panwas kami di daerah agar jangan pernah main-main dengan suap. Dengan conflict of interest, sudah sekitar enam orang kami pecat dalam kaitan dengan ini. Jadi jangan sampai kami bisa rekomendasikan dewan kehormatan yang bisa menghasilkan pemecatan terhadap anggota KPU. Kami tidak merasa berlaku adil, jadi bagaimana mungkin meja yang kotor dibersihkan dengan lap yang kotor juga.



Kami sudah melakukan itu semua. setiap kali kesemptan kami juga mengajak publik untuk pula mengawasi pengawas di semua jenjang. Jangan sampai kita pintar mengawasi orang lain, tetapi kami tidak pintar untuk bisa diawasi. Itu bagian dari kontrol, karena kami sadar betul dengan ribuan pengawas ini tidak mungkin kami mengawasi dari Bawaslu saja, tetapi pada saat bersamaan keteribatan publik dalam pengawasan aparat panwas kami di daerah-daerah. dan kami selalu katakan bahwa ini anggaran dari rakyat, hasil dari jerih payah rakyat maka harus kita imbangi dengan kejujuran. Makanya kami tetap berpegang teguh kode etik penyelenggara pemilu.



Kami ini bahkan tidak boleh simpati, tetapi tidak boleh juga antipati kepada peserta pemilu. Jadi kami tidak boleh terhanyut, tapi kami tidak boleh pula mendorong orang untuk melapor. Misalnya, anda punya laporan ya silahkan saja, kalau memaksa kami tidak boleh, ini akan melanggar kode etik. Peraturan Bawaslu Nomor 13 mengatur tentang Tata Cara Pengaduan Laporan Kode Etik Pengawas Pemilu.

(Fat/CR-4) dipost hukumonline

Read More......

Kasasi atas Vonis Bebas, Yurisprudensi yang Menerobos KUHAP

[26/1/09]

Pihak yang pertama kali menerobos pasal 244 KUHAP justru eksekutif, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Menteri mengeluarkan pedoman KUHAP yang dalam lampirannya menyebut kasasi atas vonis bebas dapat diajukan demi hukum, keadilan dan kebenaran.

Rombongan pengacara dipimpin Mahendradatta menyambangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, 15 Januari lalu. Anggota tim penasihat hukum Muchdi Purwoprandjono itu rencananya hendak bertemu Zahrul Rabain, Ketua Pengadilan. Tuan rumah sedang tak di tempat, sehingga rombongan pengacara tadi hanya diterima Panitera Pengadilan, Lilies Djuaningsih.



Maksud kedatangan rombongan tersebut jelas. Menurut Mahendradatta, mereka ingin meminta Ketua Pengadilan tak meneruskan kasasi yang diajukan jaksa. Kalau upaya hukum tetap dilakukan, sama saja pengadilan menabrak undang-undang yang rumusannya sudah jelas. “Kami minta ketua pengadilan tidak mengirimkan berkas kasasi JPU,” tandasnya.



Wet yang ditabrak tak lain adalah pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini merumuskan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi. Logikanya, pihak yang mengajukan kasasi jika terdakwa dibebaskan adalah penuntut umum. Rumusan pasal 244 sangat jelas. Sehingga, menurut Mahendratta, tidak ada alasan bagi PN Jakarta Selatan untuk meneruskan berkas permohonan kasasi dari JPU. Kalaupun diteruskan, terlebih dahulu ada pendapat hukum dari Mahkamah Agung (MA).



Singkatnya, berdasarkan pasal 244 KUHAP, putusan hakim tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan tidak bisa dikasasi ke Mahkamah Agung. Amar itu pula yang belum lama diputus majelis hakim PN Jakarta Selatan terhadap terdakwa Muchdi Purwoprandjono, terdakwa penganjur pembunuhan aktivis HAM, Munir. “Menyatakan terdakwa H. Muchdi Purwoprandjono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya,” tegas ketua majelis hakim, Suharto.



Muchdi bukan hanya dibebaskan dari segala dakwaan, tetapi juga harus segera dilepas dari tahanan. “Memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan,” begitu antara lain amar yang dibuat majelis hakim Suharto, Achmad Yusak, dan Haswandi.



Vonis bebas itu sontak menuai kontroversi. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), komite yang selama ini mengadvokasi kematian Munir, mengecam putusan majelis. Suciwati, isteri almarhum Munir, langsung tertundu lesu dan menitikkan air mata mendengar vonis bebas itu. Sebaliknya, terdakwa Muchdi tak bisa menutup kegembiraan. Seusai sidang, ia langsung mengucapkan syukur. Pendukungnya pun langsung berteriak “hidup Muchdi”, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya.



Lonceng perlawanan terhadap vonis itu datang dari Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan, M. Jasman Panjaitan menyatakan penuntut umum mengajukan kasasi. Pernyataan Jasman disusul aksi Cirus Sinaga, penuntut umum perkara Muchdi, menandatangani akta kasasi di Kepaniteraan PN Jakarta Selatan tiga hari sebelum rombongan Mahendradatta datang.



Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga memastikan penuntut umum Cirus Sinaga sudah menyampaikan memori kasasi ke Kepaniteraan PN Jakarta Selatan, Jum’at (23/01) pagi. Jaksa memutuskan kasasi karena beberapa hal. Pertama, kata Ritonga, ada ketentuan hukum yang tidak dilaksanakan majelis sebagaimana mestinya. Kedua, ada proses peradilan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, atau hakim melampaui wewenang. “Apakah alasan-alasan itu ditemukan dalam keputusan yang ada, menurut jaksanya dapat ditemukan,” tegas Ritonga.



Ditambahkan Jasman Panjaitan, JPU akan mempersoalkan penerapan hukum. Kejaksaan menilai hakim salah menerapkan hukum. Meskipun tak menjelaskan detail kesalahan penerapan hukum dimaksud, tekad Kejaksaan untuk kasasi sudah bulat. Pasal 244 KUHAP bukan halangan yuridis karena --di mata Kejaksaan—vonis bebas Muchdi bukan bebas murni. “Putusan PN Jakarta Selatan itu bukan bebas murni,” ujarnya.



Bebas: Murni atau Tidak?

Kontroversi dan perdebatan hukum akhirnya bergeser pada isu ini: bebas murni atau bebas tidak murni. Dari enam poin amar majelis tak satu pun yang menyebut sifat vonis tersebut. Majelis hanya menyatakan “membebaskan terdakwa dari semua dakwaan”.



Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP pun hanya menggunakan kata ‘bebas’. “KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni,” ujarnya kepada hukumonline.



Lalu darimana jaksa mengartikan vonis bebas Muchdi adalah bukan bebas murni? Subjektivitas jaksa sangat berperan. JPU sering mengartikan sendiri suatu vonis bebas adalah bukan bebas murni tanpa argumentasi yang jelas dan kuat. “Hanya sebagai tangga untuk mengajukan kasasi,” kata Nasrullah.



Menurut Nasrullah, rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, MA menerima permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan PN Jakarta Pusat. Pertimbangan MA: demi hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi. Nanti, MA-lah yang memutuskan apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.



Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari MA, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). MA justeru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.



Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu keluar, MA menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi JPU dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. “Putusan bebas murni artinya sama sekali tidak terbukti tindak pidananya,” jelas Nasrullah.



Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap, suatu putusan dikatakan bebas tidak murni –lazim juga disebut pembebasan terselubung (verkapte vrispraak)—apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya.



Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak menunggu MA bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah argumentasi JPU cukup kuat, tentu saja MA yang akan menilai.



Tidak Dapat Diterima

Agar permohonannya diterima, mau tidak mau, Kejaksaan harus menguraikan secara jelas alasan-alasan permohonan kasasi. Menurut T. Nasrullah, memori kasasi thd putusan bebas tidak murni harus memuat: (i) jangka waktu menyatakan kasasi dan jangka waktu penyerahan memori kasasi; (ii) argumentasi tentang bebas tidak murni; dan alasan-alasan kasasi sebagaimana ditentukan KUHAP



Kalau argumentasi jaksa tidak kuat dan salah satu syarat permohonan kasasi tidak lengkap, menurut Nasrullah, permohonan jaksa tidak akan diterima. Ini pula yang mengkhawatirkan anggota tim penyusun revisi KUHAP itu. “Penuntut umum biasanya tidak mampu menguraikan alasan kasasi terhadap putusan bebas tidak murni,” ujarnya.



Bisa jadi kekhawatiran Nasrullah beralasan. Ada beberapa putusan MA yang menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Sebab, berdasarkan penilaian MA, selaku pemohon kasasi JPU “tidak dapat membuktikan bahwa putusan PN merupakan pembebasan yang tidak murni”. Dengan kata lain, pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan tentang dimana letak sifat tidak murni dari suatu putusan bebas.



Pertimbangan seperti itu pernah dipakai MA ketika menolak kasasi jaksa dalam perkara Herizal bin Arsyad Nashyur (putusan no. 1871 K/Pid/2005). Singkatnya, Herizal didakwa melanggar UU Psikotropika. Jaksa menuntutnya enam bulan penjara atas tindak pidana ‘secara tidak sah tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan atau pemilikan psikotropika. Namun, dalam putusannya, PN Jambi menyatakan terdakwa Herizal tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana baik pada dakwaan pertama, kedua, atau ketiga. Karena itu, majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.



JPU perkara ini mengajukan kasasi dengan dalih antara lain majelis hakim PN Jambi telah melakukan kekeliruan menerapkan hukum. Tetapi oleh MA, argumentasi JPU ditepis. Majelis hakim agung – Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Moegihardjo-- menilai tidak ada argumentasi pemohon kasasi yang menguatkan bahwa putusan bebas dari PN Jambi adalah putusan bebas tidak murni.



Setahun setelah putusan perkara Herizal, MA kembali mengeluarkan sikap serupa. Dalam perkara terdakwa Henry Salim alias Asin (putusan No. 2016 K/Pid/2006) MA menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Jaksa mengajukan kasasi setelah PN Palembang membebaskan Henry Salim dari dakwaan melanggar UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. JPU beralasan hakim salah menerapkan hukum pembuktian.



Tetapi, dalam putusan yang diucapkan pada 14 Februari 2007 silam, majelis hakim agung –Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Bahauddin Qaudry—menilai JPU tidak dapat membuktikan putusan bebas judex facti merupakan pembebasan yang tidak murni. Sifat tidak murni dari putusan tidak digambarkan pemohon kasasi secara jelas melalui argumentasi. Selain itu, berdasarkan wewenang pengawasannya, MA juga tidak melihat hakim PN Palembang yang menjatuhkan putusan bebas telah melampaui wewenang mereka. Karena itu, kata majelis, permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima.



Kini, putusan Muchdi, menjadi satu lagi contoh dimana jaksa mengajukan kasasi atas vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Para pihak tentu saja harap-harap menunggu dengan perasaan campur aduk: bebas, dihukum, tidak dapat diterima, atau kemungkinan lain. Kuncinya kini ada di tangan MA.
dipost hukumonline Read More......

'Si Mobil Lecet' yang Mengejar Posisi Hakim Agung

Munir Fuady
[8/5/08]

Jika Anda adalah Sarjana Hukum yang berkali-kali ikut ujian advokat dan selalu gagal, Anda tak perlu meratapi nasib. Sebab, ada nih seorang pengacara yang justru berkali-kali gagal ketika ingin 'keluar' dari profesinya sebagai advokat. Lho?

Namanya Munir Fuady. Menjadi pengacara hampir 20 tahun, punya duit milyaran, menulis 38 buku tentang hukum dan mengajar di beberapa universitas, Munir ngotot ingin alih profesi. “Saya ingin lebih berguna buat masyarakat,” urainya.



Kurang bergunakah profesi advokat? Bukankah advokat adalah officium nobileum yang berarti pekerjaan yang mulia? “Saya ingin mengembangkan hukum dan menegakkan keadilan,” jawab Munir. Menjadi pengacara, baginya, tidak cukup leluasa untuk menegakkan keadilan. Sebab, pengacara hanya menawarkan keadilan. Yang memutus pada akhirnya adalah hakim.



Maka, menjadi hakim agung atau profesi lain yang berpotensi lebih besar untuk menegakkan keadilan, adalah obsesi Munir. Uniknya, obsesi ini baru belakangan mengendap di benaknya. Saat lulus kuliah S-1 dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh, yang ditatapnya adalah profesi advokat dan akademisi.



Selama lima tahun terakhir, Munir berjuang keras untuk meninggalkan—tentu saja sementara—profesi advokat. Mulanya pendiri Kantor HUkum Munir Fuady and Partners ini mencoba peruntungan mengikuti seleksi anggota Komisi Konstitusi. Ketika itu, bersaing dengan beberapa profesor selevel Sri Sumantri, Munir terkulai. Ia gagal menjadi anggota komisi yang bertugas mengkaji UUD 1945 hasil amandemen keempat itu.



Terjatuh memang sakit, tapi Munir lekas bangun. Berikutnya ia mengadu nasib dalam seleksi hakim agung ad hoc Pengadilan Tipikor. Mahkamah Agung (MA), selaku penyeleksi, cuma membutuhkan tiga orang dan Munir lolos hingga babak enam besar. Di daftar peserta yang lolos, nama Munir nangkring di peringkat pertama. Ia haqqul yaqin bisa melewati hadangan terakhir.



“Tapi saya mengundurkan diri,” Munir bercerita. Ia mendapat bisikan, menjadi hakim agung ad hoc Tipikor bisa membikin apes. Kerja berat tapi gaji distandarkan dengan orang melarat. Di kemudian hari, bisikan itu memang benar adanya. Dan Munir bersyukur memilih mengundurkan diri. “Saya disarankan oleh orang MA untuk mengikuti seleksi hakim agung saja,” kata Munir.



Disarankan begitu, Munir mengangguk. Dengan keyakinan penuh, ia melangkahkan kaki ke Komisi Yudisial (KY). Pertengahan 2006 itu lembaga yang masih jabang bayi ini punya gawe menyeleksi calon hakim agung.



Berjibaku dengan ratusan peserta, Munir berhasil melaju hingga ke babak semifinal, yaitu wawancara di hadapan tujuh komisioner KY. Tapi langkahnya terhenti di situ. Ia tak sampai menjangkau babak final yang berlangsung di DPR. “Hasil tes wawancara itu tergantung apakah jawaban kita enak didengar atau tidak,” Munir berkisah. Ia kurang percaya para pewawancara itu bersikap objektif.



Biarpun begitu, Munir tak kapok beradu kehebatan di hadapan penilai yang subjektif. Februari lalu, ia mendatangi DPR—lembaga politik yang tersohor sarat kepentingan. Kebetulan, Komisi III DPR sedang punya hajat menyeleksi calon hakim konstitusi. Ada tiga nama yang bakal dipilih para wakil rakyat dari 16 nama yang ikut seleksi.



Di luar parlemen, para pemerhati Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut agar DPR tidak cuma terpukau oleh peserta yang pakar di bidang hukum tata negara. Mereka berharap ada variasi keahlian. Munir, yang punya keahlian di bidang hukum bisnis, secara tak langsung diuntungkan oleh wacana itu. Bahkan, rekan-rekannya di lawfirm sangat yakin si bos bakal melenggang dengan lancar. Tiga dari tujuh pengacara di kantor itu memilih kabur. “Mereka khawatir kalau saya lolos, kantor ini akan tutup atau tidak menjadi kantor advokat lagi,” ungkap Munir.



Optimisme Munir nyaris mencapai puncak sebelum ia mendengar kabar DPR melamar Ketua MK Jimly Ashshiddiqie untuk ikut seleksi. “Katanya nggak mau ikut lagi. Eh, malah DPR yang melamar,” kata Munir. Ia kian geregetan ketika mengetahui DPR mempersilahkan Prof Mahfud MD dan Akil Mochtar turut meramaikan persaingan. “Bagaimana bisa objektif. Mereka adalah teman sesama anggota DPR,” keluhnya lagi.



Usai menjalani fit and proper test, dan mengumpulkan satu suara di babak voting, pada akhirnya Munir hanya menjadi saksi sejarah bagi kemenangan Jimly, Mahfud dan Akil. Sesuai prediksi banyak pihak, DPR ternyata lebih merestui ketiganya.



Empat kali gagal bertarung di ajang seleksi pejabat negara tak membikin Munir menyurutkan niatnya untuk alih profesi menjadi penegak keadilan yang sesungguhnya. Ia tetap fight. Awal tahun ini, ia come back to KY. Munir masih punya keyakinan dapat lolos seleksi calon hakim agung. Di antara puluhan pendaftar, namanya tercatat sebagai peserta yang lolos persyaratan administrasi.



Nama: Dr Munir Fuady, SH, MH, LL.M



Tempat/Tanggal Lahir: Langsa, 20 September 1954



Pekerjaan: Advokat, kurator perusahaan pailit, dosen, pengarang buku



Penghargaan

- Fullbright Certificate on Mutual Understanding between the people of United States of America and the people of Indonesia (1989)

- 25 Top Konsultan Hukum Bisnis Indonesia (2001)

- Top Professional Indonesia (2002)

- Senior Lawyer of The Year versi Majalah Legal Review (2003)



Jika benar-benar lolos, Munir yakin dapat memberi warna tersendiri buat MA. Ia mencontohkan Artidjo Alkotsar dan Abdur Rahman Saleh. “Kecepatan dan kecermatan membaca berkas perkara adalah keunggulan seorang pengacara dibanding akademisi,” kata mantan aktivis LBH universitas yang pernah membela anggota Gerakan Aceh Merdeka di jaman Orde Baru ini.



Lolos tidaknya Munir tentu tergantung seberapa bagus nilai yang diperolehnya dalam seleksi. Dan, soal mekanisme penilaian ini, Munir punya kritik terhadap lembaga-lembaga yang melakukan seleksi pejabat negara, khususnya KY. Berdasarkan amatannya, KY terlalu semangat menjatuhkan reputasi peserta seleksi ketimbang mengujinya. Misalnya, KY suka membeber catatan kelam seseorang yang sebenarnya masih berupa gosip. “Filosofi KY itu mencari mobil yang mulus. Semestinya KY mencari mobil yang sudah nyerempet-nyerempet. Mobil yang lecet,” kata Munir.



Mobil yang mulus, Munir menjelaskan, adalah mobil yang ada di garasi. Mobil yang tidak beranjak ke mana-mana. Daya tahannya belum teruji karena belum menjelajahi jalanan. Mobil yang lecet-lecet berarti sebaliknya. Mobil begini sudah menelusuri jalanan berkelok dan berkerikil tajam. Ia nyerempet ke sana-ke sini. Wajar kalau body-nya belepotan dan catnya terkelupas.



“Kalau mau yang seperti mobil mulus, cari saja akademisi. Pasti nilainya bagus-bagus,” selorohnya. “Sebab mereka tidak ke mana-mana. Hanya mengajar, balik ke rumah, tidur, besoknya mengajar lagi.” Munir merasa lebih pas diidentikkan dengan mobil lecet. Ia nyerempet jagad advokat, penerbitan buku, kampus, hingga organiasasi profesi. Sayang, sebagai mobil lecet, Munir justru tak dilirik.



Bersama Prof Ahmad Ali, ketika wawancara seleksi hakim agung di KY, Munir dijadikan bulan-bulanan. Seorang komisioner KY menudingnya menulis buku dengan cara menjiplak karya orang lain. “Itu gosip yang tidak benar. Mestinya ditunjukkan bagian mana dari 38 buku saya yang menjiplak. Mana mungkin saya menjiplak buku sebanyak itu,” Munir membela diri. Dalam hal ini, ia tidak menyangkal adagium bahwa tulisan dengan satu referensi adalah jiplakan, sedangkan tulisan dengan banyak referensi adalah karya ilmiah. “Buku saya selalu ada referensi, tapi bukan catatan kaki. Saya lebih suka menggunakan catatan pendek di tengah agar tidak mengganggu pembaca.”



Pada kesempatan yang sama, Munir juga dicap sebagai kurator yang kurang disiplin dalam membuat laporan. Selain itu, ia juga dinilai kurang becus dalam mengelola keuangan saat menjabat Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Selatan. ”Itu fitnah. Biasa dalam berorganisasi selalu ada lawan dan kawan,” bantahnya, kala itu.



Meski sudah tahu KY lebih terpikat kepada mobil mulus, toh konfidensi Munir tidak berkurang. Ia yakin bakal lolos, walau tidak punya jurus khusus untuk itu. Ia tidak akan menghafal pasal demi pasal sebuah Undang-Undang, meski ada beberapa peserta seleksi sepertinya sengaja dijegal dengan pertanyaan remeh tentang nomer pasal atau Undang-Undang. “Dari dulu saya tidak pernah menghafal pasal-pasal. Kalau butuh, tinggal dibuka saja,” kilahnya.



Diusung-usung oleh organisasi atau lembaga tertentu juga bukan kegemaran Munir. Kalau mau, bisa saja ia memobilisasi dukungan dari AAI. Nama Munir cukup bertuah di organisasi ini karena sebelum menjadi Ketua Dewan Kehormatan AAI Jaksel, ia pernah jadi orang nomer satu di AAI Jakarta. Toh, ia menampik cara-cara seperti itu.



Bergantung kepada pihak lain, bagi Munir, lebih banyak mudharat-nya. Sudah sejak muda ia menanam keyakinan bahwa ia bisa meraih sukses tanpa terbelit beban harus membalas budi. Semua itu tak lepas dari kenyataan bahwa ia sudah menjadi anak yatim sejak di bangku SMA.



Semasa kuliah S-1, berkat prestasi akademik, sejak semester tiga hingga lulus Munir berhasil menggondol beasiswa Supersemar. “Saya adalah angkatan pertama penerima beasiswa Supersemar pada tahun 1975,” kenangnya. Karena itu, tidak mengejutkan, ketika Yayasan Supersemar digugat di PN Jakarta Selatan, Munir menjadi kuasa hukum penerima beasiwa Supersemar yang mengajukan gugatan intervensi.



Tak hanya dari Supersemar, Munir juga merengkuh beasiswa dari berbagai organiasasi lain. Ia pernah merebut beasiswa Ford Foundation, TMPD (Tim Manajemen Program Doktor), dan Fullbright. Dengan beasiswa yang terakhir ini ia meraih gelar LLM dari Law School, Southern University, Dallas, USA.



Kini Munir menyadari, mengejar posisi hakim agung ternyata tidak segampang merengkuh beasiswa. Kondisinya bisa demikian kontras, karena penilaian dalam seleksi hakim agung tak sepenuhnya objektif. Asalkan penilaian dilakukan secara objektif, tidak ada kamus gagal di benak Munir. Tentu, ”Tergantung juga sama Yang di Atas,” ujar suami Aklima ini.



Sehari-hari, Munir kini mengoperasikan kantor hukum miliknya. Sebelum punya lawfirm sendiri, ia pernah bekerja di kantor advokat milik Ghani Djemat. Ia juga pernah bergabung dengan lawfirm Lubis Ghani Surowidjojo. Dari profesi ini Munir sukses mengumpulkan rupiah. Terakhir –berdasarkan data Komisi III saat yang bersangkutan mengikuti seleksi hakim konstitusi beberapa waktu lalu- kekayaannya mencapai Rp2,5 miliar. Empat mobil mulus ia punya: Sedan Mercy, Kijang Innova, Atoz Hyundai, dan Volvo.



Jika suatu ketika di jalanan yang macet Anda ketemu 'Si Mobil Lecet' ini sedang mengendarai mobil mulusnya, cobalah menyapa dengan menjiplak iklan rokok, “Apa obsesimu?” Tentu, jawabannya bukan ingin menjadi sutradara. Sambil merapikan dasinya, mungkin ia akan menjawab, “Saya ingin menjadi hakim agung”. Read More......

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 40 TAHUN 1980

TENTANG

PEMBENTUKAN KECAMATAN-KECAMATAN GUGUK PANJANG, MANDIANGIN KOTO SELAYAN DAN AUR BIRUGO TIGOBALEH DI WILAYAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II BUKIT TINGGI PROPINSI DAERAH TINGKAT I SUMATERA BARAT



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang:

a. bahwa dengan tidak adanya pemerintahan tingkat Kecamatan dalam wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bukit tinggi, sangat dirasakan lambatnya gerak dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan maupun pelaksanaan pembangunan baik karena faktor terbatasnya kemampuan aparatur pemerintahan yang ada maupun faktor-faktor hubungan Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II dengan Kepala-kepala Desa yang secara psikologis kurang menguntungkan;

b. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas, dan untuk kelancaran tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dalam Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bukit Tinggi dipandang perlu untuk membentuk 3 (tiga) Kecamatan dalam wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bukit Tinggi.



Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Besar Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 20);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Negara Nomor 3037).



MEMUTUSKAN:



Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN-KECAMATAN GUGUK PANJANG, MANDIANGIN KOTO SELAYAN DAN AURBIRUGO TIGO BALEH DI WILAYAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II BUKIT TINGGI PROPINSI DAERAH TINGKAT I SUMATERA BARAT



Pasal 1

Untuk terwujudnya tertib pemerintahan serta pembinaan wilayah, maka wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bukit Tinggi dibagi dalam 3 (tiga) Wilayah Kecamatan sebagai berikut:

a. Wilayah Kecamatan Guguk Panjang, terdiri dari:

1. Kampung (Desa) Tarok Dipo

2. Kampung (Desa) Pakan Kurai

3. Kampung (Desa) Aur Tajungkang-Tengah Sawah

4. Kampung (Desa) Benteng Pasar Atas

5. Kampung (Desa) Kayu Ramang Bukit Cangang

6. Kampung (Desa) Kayu Kubu

7. Kampung (Desa) Bukit Apit Puhun.

b. Wilayah Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, terdiri dari:

1. Kampung (Desa) Koto Selayan

2. Kampung (Desa) Garegah

3. Kampung (Desa) Manggis-Ganting

4. Kampung (Desa) Pulai Anak Air

5. Kampung (Desa) Cempago Ipuh

6. Kampung (Desa) Cempago Guguk Bulek

7. Kampung (Desa) Puhun Tembok

8. Kampung (Desa) Puhun Pintu Kabun

9. Kampung (Desa) Kubu Gulai Bancah.

c. Wilayah Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh, terdiri dari:

1. Kampung (Desa) Aur Kuning

2. Kampung (Desa) Birugo

3. Kampung (Desa) Belakang Balok

4. Kampung (Desa) Sapiran

5. Kampung (Desa) Kubu Tanjung

6. Kampung (Desa) Pekan Labuh

7. Kampung (Desa) Parit Antang

8. Kampung (Desa) Ladang Cakieh.



Pasal 2

(1) Pusat Pemerintah Kecamatan Guguk Panjang berkedudukan di Benteng Pasar Atas/Lenggo Geni.

(2) Pusat pemerintahan Kecamatan Mandiangin Koto Selayan berkedudukan di Campago Ipuh/ Surau Gadang.

(3) Pusat Pemerintahan Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh berkedudukan di Simpang Aur Kuning.



Pasal 3

Setiap perubahan Desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, baik karena pemekaran, penggabungan maupun penghapusan sepanjang tidak mengakibatkan perubahan batas-batas wilayah Kecamatan, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.



Pasal 4

Segala sesuatu yang berkenan dengan dan sebagai akibat dari pada pembentukan 3 (tiga) Kecamatan di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bukit Tinggi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 diatur lebih lanjut oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat dengan memperhitungkan keuangan Pemerintah Pusat dan atau Daerah.



Pasal 5

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 22 Nopember 1980

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SOEHARTO.



Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 22 Nopember 1980

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SUDHARMONO, SH. Read More......
 

© Copyright by hukum di indonesia | Template by Fanchon0706 | Blog Trick at EasyBlogTrick