Sabtu, 07 Februari 2009

Nur Hidayat Sardini: Kami Hanya ‘Hakim Garis’

Ketua Bawaslu
[5/2/09]

Bawaslu berharap mendapat kewenangan eksekusi tindaklanjuti pelanggaran administrasi terkait penyelenggaraan pemilu.

Kemeriahan Pemilu 2009 tinggal hitungan hari. Komisi Pemilihan Umum (KPU), di pusat ataupun daerah, selaku penyelenggara tentunya menjadi pihak yang paling sibuk mempersiapkan ajang empat tahunan ini. Di sisi lain, partai politik beserta para kadernya tidak kalah sibuknya “mendandani” diri agar siap bertarung dengan partai politik dan kader lainnya.



Untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilu berlangsung dengan lancar dan sesuai aturan, maka diperlukan sebuah lembaga pengawas pemilu. Sejarah pemilu Indonesia mencatat lembaga pengawas pemilu pertama kali dikenal pada Pemilu 1982. Lembaga ini dengan latarbelakang maraknya protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971.



Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang terus berubah, pengawas pemilu tetap diaktifkan sampai Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Eksistensi Panwaslu kemudian dipertegas oleh UU No. 12 Tahun 2003 yang juga mendasari terbentuknya Panwaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.



Dalam perkembangannya, Panwaslu bertransformasi kembali menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2007, Pasal 70. Jumlah anggota Bawaslu sebanyak lima orang berasal dari kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.



Bawaslu periode 2008-2013 dilantik dan diangkat sumpah pada 9 April 2008 oleh Hakim Agung Mansur Kartayasa bertempat di kantor KPU. Selaku ketua terpilih Nur Hidayat Sardini yang membawahi empat anggota, antara lain SF Agustiani Tio Fridelina Sitorus, Bambang Eka Cahya Widodo, dan Wirdyaningsih.



Perbedaan Bawaslu dengan lembaga pengawas sebelumnya adalah status lembaga yang permanen sebagaimana ditegaskan Pasal 70 ayat (2) UU Penyelenggara Pemilu. Sayang, status baru tidak serta-merta menjadikan “nasib” Bawaslu menjadi lebih baik dari pendahulunya. Tidak lama setelah pelantikan, Bawaslu sempat nomaden alias berpindah-pindah. Awalnya menumpang di kantor KPU, lalu pindah ke Gedung Joeang 45.



“Nah, bahkan saya dan kawan-bahkan pernah hutang kepada travel agency, sampai Rp25 juta, karena tidak ada sarana dan prasarana. Jaminannya ya ketua ini,” tutur Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini, ketika disambangi hukumonline, Kamis lalu (29/1).



Nama Lengkap : NUR HIDAYAT SARDINI, S.Sos, M.Si
Tempat/Tanggal Lahir : Pekalongan / 10 Okt 1969
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Jabatan : Ketua Bawaslu
Pendidikan terakhir : S-2 Imu Politik, UI, Jakarta
Riwayat Pekerjaan : - Peneliti Pusat Studi Eropa UNDIP
- Dosen FISIP, Undip

Bertempat di kantor barunya -bekas kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di bilangan Thamrin-, Hidayat tidak hanya bercerita kisah miris di awal kiprah Bawaslu, tetapi juga berbagai tantangan, hambatan, serta strategi ke depan yang akan dihadapi Bawaslu. Selengkapnya, berikut petikan wawancara hukumonline dengan pria kelahiran Pekalongan 10 Oktober 1969 ini:



Berbeda dengan pengawas pemilu sebelumnya, Bawaslu tidak lagi bersifat adhoc (temporer), apa kelebihan dan kekurangan dari konsep ini?

Ya permanen, dikonotasikan setara dengan Bapilu, karena kami pun punya wewenang untuk mengawasi penyelenggara pemilu, paling kurang Pasal 74 UU No. 22 Tahun 2007, kami memberikan rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU dan sekretariat KPU dari pusat sampai yang ke bawah.



Dan memang secara faktual kami pernah merekomendasi pembentukan adanya Dewan Kehormatan (DK). Kemudian dari sidang DK itu akhirnya, beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota KPU di daerah, misalnya empat anggota KPU Sumatera Selatan diberhentikan, dua anggota KPU di Papua juga diberhentikan. Lalu hal yang sama dalam kasus Desi Asmara (Anggota Komisi III DPR) di Sumatera Barat, dan juga di Sulawesi Utara itu memang gagal. Tetapi paling kurang itulah sejumlah bukti yang memperlihatkan bahwa kami pun punya kewenangan untuk merekomnedasikan dibentuknya DK, dan dari DK ini kemudian memberhentikan sejumlah nama anggota KPU yang melanggar.



Kami permanen, tapi di tingkat Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas pemilu lapangan di setiap desa, pengawas pemilu luar negeri itu memang bersifat adhoc. Jadi, mereka dibentuk selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahapan pertama dimulai, tetapi memang kemarin pembentukan panwaslu di daerah agak terlambat, kami pun sebenarnya terlambat dibentuk.



Lalu, apa kelebihan dari status permanen itu?

Ya, jelas kami bisa mengawal persoalan kasus-kasus yang tertunda. Pengalaman pada Pemilu 2004, misalnya dana kampanye ternyata baru terungkap belakangan, tapi karena panwaslu-nya waktu itu sudah dibubarkan, lalu muncul pertanyaan siapa yang menindaklanjuti persoalan ini, akhirnya tidak ada. Contoh lain pemalsuan dokumen ijasah, yaitu tindak pidana yang terjadi di daerah-daerah, ketika seluruh panwas bubar, tidak ada yang menangani lagi, kemudian kasus-kasus yang tersisa juga begitu. Karena itu, ini suatu kelebihan.



Kelebihan berikutnya tentu KPU pun akan merasakan “greget” pengawasan. Karena dulu adalah panwaslu dibentuk oleh KPU. Nah, sekarang kan dalam rekrutmen relatif sama (dengan KPU, red.), melalui keputusan presiden juga, melalui seleksi rekrutmen DPR juga. Akhirnya pada posisi tertentu juga sama, meski dari sejumlah kewenangan jauh lebih besar KPU. Yang sama antara pengawas pemilu yang lama dengan yang baru adalah soal kami tidak memiliki hak eksekusi, kami tidak memiliki hak eksekutorial, padahal itu penting dalam kasus pelanggaran penanganan adminsitrasi pemilu. Menurut UU 10 Tahun 2008, selambat-lambatnya tujuh hari KPU di semua tingkatan menyelesaikan pelanggaran adminsitrasi pemilu yang diteruskan oleh panwaslu.



Dalam kaitan dengan tindak pidana pemilu memang eksekutornya adalah jaksa, proses peradilan. Jadi, kami kemudian menindaklanjuti kepada penyidik, penyidik kepada jaksa, jaksa kepada peradilan nanti, yang memeriksa dan memutuskan oleh pihak peradilan.



Kemudian, kami ada pengawas pemilu lapangan di setiap desa, kalau dulu tidak ada. Di 2009 ini juga ada pengawas pemilu luar negeri. Kalau dulu kan tidak ada. Iya, saya mantan ketua panwaslu Jawa Tengah, jadi tahu di lapangan persoalan seperti ini.



Apakah status permanen juga mengandung kelemahan?

Tentu, karena jumlah anggotanya sedikit. Kalau dulu itu di tingkat pusat tujuh atau sembilan anggota, di tingkat provinsi untuk penduduk di bawah 15 juta itu sebanyak lima orang, tetapi lebih dari 15 juta itu tujuh orang. Dulu, ada unsur kepolisian dan kejaksaan tetapi sekarang kan tidak ada. Ada kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, sekarang kami mandiri dalam pengertian berdiri secara fis a fis dengan kekuatan penyidikan penuntutan, serta peradilan dalam kaitan dengan pelanggaran tindak pidana pemilu. Lalu, dalam kaitan lain jelas kami harus bisa membuktikan setiap kasus yang kami majukan, dengan bukti permulaan di awal saja, UU menyatakan seperti itu. Nah, sekarang panwaslu provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, jumlahnya cuma tiga masing-masing anggota. Tidak berbasis pada unsur, kalau dulu ada unsur kejaksaan, pers lalu perguruan tinggi, sekarang kan mereka yang dikonotasikan sebagai kalangan profesional pegawasan di UU No. 22 Tahun 2007 seperti itu.



Bawaslu bertugas mengawasi tahapan pemilu dari ‘hulu’ hingga ‘hilir’, pada tahapan apa yang paling rentan terjadi pelanggaran?

Hampir semua tahapan itu ada titik-titik rawan. Kami, dalam melakukan pengawasan juga fokus ke sana. Pengawasan itu lalu kemudian kami cek dan pelajari dari sejumlah hal-hal yang bisa menimbulkan potensi pelanggaraan. Pada masa kampanye misalnya, jelas sekali kampanye di luar jadwal waktu, politik uang, persoalan pengurusan dana kampanye, lalu terkait dengan rekening dana kampanye. Dalam pemungutan penghitungan suara misalnya, manipulasi surat suara, manipualasi itu bisa ditinggikan angkanya bisa juga dikurangi. Lalu, pada masa tenang, Lembaga survei, jajak pendapat, quick count tidak boleh dipublikasikan pada masa tenang, karena itu jelas sekali ketentuan pidananya.



Kendala apa yang akan dihadapi Bawaslu?

Kami membayangkan kalau kami dibentuk sesuai dengan perintah UU, saya yakin performa pengawasan akan jauh lebih baik. Saya bilang tadi bahwa selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahapan pemilu pertama dimulai, pengawas pemilu sudah terbentuk. Padahal, kami sendiri di Bawaslu sebagai institusi puncak pengawasan yang juga membentuk bawaslu di bawahnya, baru dilantik 9 April 2008. Padahal, tahapan pertama pemilu 5 April, jadi sebenarnya terlambat. Nah, ketika kami dilantik semua prasarana nol sama sekali.



Kami dalam 2-3 bulan pernah berkantor di KPU, dua ruang anggota KPU yang lama itu kami dipinjami, sarana dan prasarana seperti mobil juga kami dipinjami. Bahkan, karena sudah tidak memadai kantor KPU itu, kami pindah ke Gedung Joeang, disitu kami dapat 4-5 bulan, dan itu baru terbentuk kepala kesekretariatan. Bulan Agustus, baru kami bisa menata kelembagaan. Nah, pada saat bersamaan kami diperintahkan UU untuk membentuk panwaslu tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.



Nah, bahkan saya dan kawan-bahkan pernah berhutang kepada travel agency, sampai 25 juta, karena tidak ada sarana dan prasarana. Jaminannya ya ketua ini. Tetapi itu, masa-masa sulit sudah kami lampaui, dan syukur Alhamdulilah kami mendapatkan fasilitas dari sekretariat negara, akan gedung ini (gedung PBB). Yang lumayan representatiflah, sehingga bisa memicu kami dengan adanya gedung ini koordinasi semakin baik. Secara kelembagaan kami sudah terbentuk semua, sesuatu yang tidak kami perkirakan, bahkan anggaran DIPA kami sudah membagi untuk 33 provinsi, di seluruh indonesia yang kami serahkan secara resmi pada 22 Januari kemarin.



Itu salah satu hal yang kami lampaui, meski kami sadar bahwa kami banyak kekurangan. Kekurangan paling utama adalah bahwa kami diminta untuk mengawasi KPU juga. Kami lihat bahwa format penyelenggara KPU usianya sudah 10 tahun setelah reformasi, sedangkan kami baru berusia tujuh bulan. Kami harus mengimbangi usia KPU yang sudah sedemikian mapan. Nah, ini persoalan yang harus kami kejar. Begitu kami baru dilantik, kami segera meletakkan pondasi pengawasan. Pertama-pertama regulasi pengawasan harus kami susun dulu, kemudian peraturan Bawaslu tentang pengawasan, tentang penerimaan, dan tindak lanjut pelaporan. Dua hal yang tidak bisa ditolak karena apapun, ketika kami misalnya belum punya sarana prasarana waktu itu, lalu ada orang melapor ya harus segera ditindaklanjuti. Karena itu perintah UU apapun kondisinya.



Apar rencana Bawaslu ke depan?

Tentu kami harus tetapkan rencana strategis. Alhamdulillah, sudah kami tetapkan sehingga kami terpandu rencana strategis yang memuat tentang visi misi program kami, sehingga arahnya lebih jelas. Ya, syukur Alhamdulillah dalam wakitu 4-5 bulan efektif kami bisa selesaikan semuanya, termasuk pembentukan kelembagaan. Dalam pembentukan kelembagaan memang ada yang tersisa, yaitu Aceh. Ada perbedaan persepsi payung hukum, DPRD Aceh bersikukuh untuk menggunakan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sementara kami bersama KPU tetap ingin menggunakan UU No. 22 Tahun 2007.



Belajar dari pemilu sebelumnya, aspek koordinasi antara lembaga pengawas dengan instansi terkait seperti KPU, Polisi, dan lain-lain selalu menjadi isu penting. Bagaimana caranya agar koordinasi tersebut berjalan dengan baik?

Jauh lebih dari itu, kami sudah membentuk di sela-sela kami membangun kelembagaan ini, kami sudah berhasil menuntaskan pada awal-awal berdirinya Bawaslu ini. Pertama-pertama adalah Bawaslu bersama Kapolri, Kejaksaan Agung, membentuk forum panel, yang namanya adalah Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakumdu), dan pola penanganan perkara tindak pidana pemilu, pada tanggal 27 Juni 2008 lalu.



Itu adalah forum menyiasati limitasi waktu di dalam UU yang proses penanganan perkaranya itu singkat, misalnya tiga hari sejak dilaporkan. Lalu kami punya tiga hari berikutnya untuk memproses di tubuh pengawas pemilu, bila diperlukan keterangan tambahan, kami bisa tambah dua hari lagi sehingga totalnya lima hari. Kemudian di penyidik ada 14 dan seterusnya, kalau tidak dibentuk Sentra Gakumdu semacam ini agak sulit, karena tentu kami punya pandangan ada limitasi waktu ini tentu biaya perkara tidak bolak-balik. Nah, itulah kemudian yang kami berhasil kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan.



Lalu pada bagian yang lain, kami juga melakukan kerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia, terkait dengan penanganan pelanggaran atas pengawasan terhadap media massa. Pengawasan ini ada tiga, penyiaran, pemberitaan dan iklan kampanye. Lalu untuk pengawasan dana kampanye kami bekerjasama dengan PPATK. Nah, dalam rangka memantau pelaksanaan pemilu kami juga sudah firm dengan 11 pemantau ternama di indonesia. Misal cetro, JPPR, IPC, KIP dan Prodem, kebetulan saya sekretaris Prodem di tingkat pusat. Lalu kami juga kerjasama dengan Forum Rektor Indoenesia.



Penandatanganan MoU apakah cukup menjamin?

Kami ini punya kewenangan sangat terbatas. Pertama, kami tidak punya hak eksekusi, hak eksekutorial itu tidak ada dikami, apakah ini konyol atau tidak, performa lembaga pengawas itu kinerjanya amat ditentukan oleh lembaga lain. Misalkan kami dikonotasikan sebagai wasit, posisi wasit itu sebenarnya tidak di kami, yang dalam permainan bola, wasitnya adalah KPU, atau penyidik. Ketika misalnya wasitnya tidak melihat hakim garis yang sudah angkat bendera karena ada pelanggaran, tapi mereka tidak melihat atau tidak mau lihat, atau tidak tahu atau tidak mau tahu, kami sudah tidak bisa apa-apa. Karena merekalah yang punya kewenangan untuk itu.



Bawaslu diibaratkan hakim garis. Nah sebenarnya ketika kami menindaklanjuti adanya laporan, sebenanya di situlah tugas kami sudah selesai. Meski kami punya kewajiban untuk memantau perkembangan kasus yang sedang kami tindak lanjuti itu tadi. Nah, kalau kemudian KPU-nya tidak meneruskan penanganan adminsitrasi pemilu, kami tidak bisa apa-apa. Karena itu kewenangan KPU, misalnya, kami bilang sudah cukup unsur, segala macam tapi penyidiknya tidak. Kami tidak bisa apa-apa, tergantung komitmen mereka. Bagaimana kok seperti itu, itu undang-undang. Tetapi anda lihat bahwa produk-produk kebijakan kami kan anda lihat sendiri sebagian. Kasus-kasus yang di lapangan itu sudah banyak yang diputus di pengadilan. Misal kasus Situbondo, di Bali itu ada tiga, di Gorontalo ada dua, di Jateng sedang ada proses antara kejaksaan dan pengadilan, itu juga berlangsung. Dan itulah kenapa kemudian kami sedikit banyak pada posisi yang penindaklanjut laporan saja.



Ke depan satu hal, berilah kewenangan kami tidak sekedar kewenangan terbatas seperti sekarang, misalnya hak eksekusi untuk bagian-bagian tertentu. Untuk pidana pemilu kan tidak bisa, karena itu sudah KUHAP. Tapi semacam pembersihan alat peraga, lalu dalam kaitan dengan apakah dalam rekomendasi kami. Langkah kami bisa menghentikan kasus pencoretan terhadap caleg yang bermasalah, itu sebenarnya masih pada wilayah yang negotiable, yang bisa perbaiki ke depan. Tetapi, tentu ini semua tergantung kepada penyusun undang-undang. Nah, kami ini kan tugasnya hanya mengawasi atas peraturan perundang-undangan terhadap pemilu.



Apakah UU-nya harus di revisi?

Saya kira kami tidak punya keinginan untuk merevisi undang-undang, tidak cukup waktu, mendingan dipikirkan bagaimana dengan segala kewenangan ini kami bisa laksanakan secara optimal. Keinginan ini untuk Bawaslu yang akan datang.



Bagi Bawaslu, apa success indicator sebuah lembaga pengawas pemilu? Apakah banyaknya kasus yang berakhir menjadi hukuman atau cukup mendapat respon dari instansi terkait?

Ada dua, pertama-pertama adalah indikator kualitatif. Kedua indikator kuantitatif. Indikator kualitatif adalah jika hasil pekerjaan pengawasan penilaian publik memuaskan, jadi ada perasaan-perasaan umum yang menyatakan okelah panwas pemilu sudah bekerja dengan baik. Melakukan penanganan pelanggaran-pelanggaran sudah pada arah yang tepat. Itu kepuasan publik, anda tahu kepuasan publik itu sangat nisbi (relatif), karena itu memang harus ada langkah kedua. Indikator kedua adalah kuantitatif, indikator ini diukur sejauh mana pengawas itu bisa menemukan dugaan pelanggaran dan juga bisa menindaklanjuti temuan tadi di samping juga ada yang namanya laporan, jadi laporan adalah hasil atau produk pengawasan hasil kami.



Di kami pengawasan ada tiga, pengawasan aktif, hasilnya adalah temuan yang kemudian bisa masuk jenjang berikutnya dalam penanganan pelanggaran. Lalu, ukuran paling penting adalah sejauh mana pengawas pemilu di semua tingkatan bisa menemukan pelanggaran. Atau menerima laporan dan menindaklanjutinya kepada instansi yang berwenang. Semakin angkanya itu bagus, semakin akan memperjelas, posisi pengawas karena tidak mungkin kami hanya mengandalkan juga dari pengawasan pasif kami. Ada memang penjelasan kalau jauh lebih panjang soal indikator ini, tetapi ketika kami bisa secara cepat dan tepat menemukan temuan atau menerima laporan, dan kemudian menindaklanjutinya dengan baik, maka di situlah kami katakan efektifitas pengawasan, jadi indikator kualitatif penting.



Namun, indikator kuantitatif juga kami selalu dorong di pengawas semua tingkatan. Karena orang tahu bahwa suatu kala ketika orang menilai, bahwa pemilu itu aman menurut kami itu tidak cukup. Pemilu itu harus bisa pula dalam bacaan pengawasan sejauh mana dia bisa menindaklanjuti temuan atau laporan tadi-tadi kepada instansi yang berwenang. Nah, kami sebenarnya di luar itu, melakukan pengawasan secara partisipatoris. Artinya bahwa kami menempatkan stake holder sebagai bagian dari pengawasan paralel. Sebagai contoh untuk mengawasi terhadap pelibatan anak-anak dalam kampanye.



Kami sedang kerjasama dengan Komnas Perlindingan Anak. Untuk pengawasan laporan dana kampanye secara spesifik kami bekerja sama dengan ICW, misalnya kita sudah merancang pelatihan kepada panwas daerah tentang isu-isu spesifik. Seperti dana kampanye, penyalahgunaan jabatan kewenangan, dan black and negative campaign, juga pengawasan logistik.



Lembaga pengawas seringkali rentan terhadap segala macam bentuk godaan baik dalam bentuk materi maupun non materi (suap, ancaman, dan lain-lain). Bagaimana Bawaslu memastikan kinerja anggotanya tetap independen, transparan, dan akuntabel?

Kami selalu himbau kepada aparat panwas kami di daerah agar jangan pernah main-main dengan suap. Dengan conflict of interest, sudah sekitar enam orang kami pecat dalam kaitan dengan ini. Jadi jangan sampai kami bisa rekomendasikan dewan kehormatan yang bisa menghasilkan pemecatan terhadap anggota KPU. Kami tidak merasa berlaku adil, jadi bagaimana mungkin meja yang kotor dibersihkan dengan lap yang kotor juga.



Kami sudah melakukan itu semua. setiap kali kesemptan kami juga mengajak publik untuk pula mengawasi pengawas di semua jenjang. Jangan sampai kita pintar mengawasi orang lain, tetapi kami tidak pintar untuk bisa diawasi. Itu bagian dari kontrol, karena kami sadar betul dengan ribuan pengawas ini tidak mungkin kami mengawasi dari Bawaslu saja, tetapi pada saat bersamaan keteribatan publik dalam pengawasan aparat panwas kami di daerah-daerah. dan kami selalu katakan bahwa ini anggaran dari rakyat, hasil dari jerih payah rakyat maka harus kita imbangi dengan kejujuran. Makanya kami tetap berpegang teguh kode etik penyelenggara pemilu.



Kami ini bahkan tidak boleh simpati, tetapi tidak boleh juga antipati kepada peserta pemilu. Jadi kami tidak boleh terhanyut, tapi kami tidak boleh pula mendorong orang untuk melapor. Misalnya, anda punya laporan ya silahkan saja, kalau memaksa kami tidak boleh, ini akan melanggar kode etik. Peraturan Bawaslu Nomor 13 mengatur tentang Tata Cara Pengaduan Laporan Kode Etik Pengawas Pemilu.

(Fat/CR-4) dipost hukumonline

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright by hukum di indonesia | Template by Fanchon0706 | Blog Trick at EasyBlogTrick